Catatan Dari Lembata Nusa Tenggara Timur

Banyak sekali berita tentang Nusa Tenggara Timur (NTT) berseliweran di media mainstream. Kalau tidak memberitakan tentang kemiskinan di sana, berita keindahan alamnya lah yang yang dielu-elukan. Soal berita kemiskinan, mungkin berita-berita itu diambil sesuai data yang ada saja, tanpa verifikasi kembali. Kadang, patokan penilaian kemiskinan berdasarkan ukuran keadaan yang bagaimana? Sering tidak jelas dikemukakan. Apakah masyarakat NTT yang konsumsi beras sebagai makanan pokok sedikit maka disebut miskin? Sementara jagung, kedelai, ubi dan kacang hijau di sana melimpah ruah. Memang di sana cocok dengan tanaman selain beras. Jadi? Paradigma makanan pokok yang layak dan mapan itu apakah harus selalu beras? Dan saya rasa pemenuhan protein di Lembata yang mayoritas pekerjaannya adalah nelayan, sangat cukup. Mau kepiting, tinggal ambil. Tak jarang kepiting raksasa merapat di batu-batu dekat pemukiman, ikan apa lagi. Rumput laut pun tersedia kapan saja bisa diolah jadi aneka penganan bergizi.

Mlaku-Mlaku Ning Wonosobo


Bukan hoax, saya pernah ke Wonosobo hehehe.
Ada rencana ingin pergi ke Pegunungan Dieng Wonosobo. Itu dulu, semasa kuliah dan hanya wacana hore-hore tanpa eksekusi. Pasti kendalanya niat yang kurang, biaya dan waktu. Ini alasan kuatnya. Tapi betapa senangnya saya bisa menginjakkan kaki di Dieng Wonosobo walau terlaksana belasan tahun kemudian. Yap! Tahun 1998 rencana, tercapai di tahun 2015. Not too bad! Stamina saya masih kuat.
Mengapa tiba-tiba saya bisa ke Wonosobo? Tentu saja karena ada pekerjaan di sana, di sela pekerjaan saya menyempatkan diri melihat sudut-sudut Kota Wonosobo sambil menikmati suasana dan kuliner khas nya. Kali ini, saya tak akan memaparkan sejarah berdirinya Wonosobo dan lain-lainnya. Yang saya mau bagi adalah kesenangan selama di sana.

Sejarah Indonesia dan Luar Negeri di Museum Tengah Kebun


Museum ini tak kelihatan seperti ada bangunan museum, sangat homy
Museum tengah kebun? Sebelum benar-benar hadir di sana saya sudah membayangkan bahwa museum ini hanya bangunannya saja yang berada di tengah kebun. Ternyata bayangan saya salah. Museum ini benar-benar tak nampak seperti museum yang kesan pada umumnya angker, remang-remang dan berbau apek. Ini tidak. Lahan seluas 3500 meter kubik ini, terdapat sebuah rumah yang dibangun menggunakan batu bata bekas gedung VOC dan gedung meteorologi. Museum ini milik pribadi seorang pengusaha dan tokoh advertising ternama, Sjahrial Djalil.