Bertahan Atau Tenggelam Kah Industri Telekomunikasi Indonesia Di Tengah Gempuran Disrupsi?


“Kalau ada yang gratis, mengapa harus ambil yang berbayar? Telpon sekarang sudah bisa pakai WhatsApp, LINE dan masih banyak lagi aplikasi lainnya. Chatting pun bisa gratis tanpa harus membayar Rp.350 untuk 160 karakter.”

Ini adalah ungkapan klasik masyarakat yang patut dimaklumi. Termasuk saya sendiri. Kemudahan teknologi dan berbagai benefit yang ditawarkan membuat sebagian besar masyarakat termasuk saya pribadi, tak memungkiri lebih memilih yang gratis dan memberi manfaat. Apa lagi untuk kerja remote memerlukan meeting online melalui chat group atau video conference tanpa keluar biaya besar. Lalu apa masalahnya?

Saya menyadari, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan sebelum menggunakan jasa dari kemudahan-kemudahan berkomunikasi itu. Bersyukur saya dapat mengikuti Forum Diskusi bersama Indonesia ICT Institute kami diskusi bersama para pakar dan pemerhati IT, Bapak Nonot Harsono dan Bapak Heru Sutadi pada 5 Februari 2020 di Balai Kartini Jakarta.

Heru Sutadi dan Nonot Harsono

Disrupsi Teknologi

Jadi, permasalahan yang patut menjadi fokus dan memperoleh dukungan dari Masyarakat Indonesia sendiri adalah tetap hidupnya perusahaan Telekomunikasi di Indonesia yang legacy nya sudah banyak ditinggalkan. Seperti SMS dan Video Call. Karena menurut Bapak Nonot, peran Industri Telekomunikasi Indonesia menjadi fungsi utama dalam penyediaan infrastruktur jaringan yang digunakan perusahaan teknologi berbasis aplikasi atau lain-lainnya.

Sederhananya, perusahaan penyedia infrastruktur jaringan semestinya lebih berjaya dibanding perusahaan berbasis aplikasi atau platform social network seperti Apple, Amazone, Microsoft, Google, Facebook dan lain-lain yang justru menumpang memanfaatkan jaringan tersebut.

“Jika Google dan Facebook bisa kaya karena adanya Network mengapa yang punya network sendiri tidak bisa? Penyedia network sudah ada di layer paling bawah dan data terkumpul di aplikasi – aplikasi penyedia layanan di luar telko. Jadi network operator hanya dilewati begitu saja.” Kata Pak Nonot.

Persoalannya ketika teknologi dibisniskan, seperti internet service provider dan network operator pola bisnis dinamis berubahnya berhubungan langsung dengan regulasi yang diterapkan. Tahun 2000 network operator masih berjaya. Tahun 2010 aplikasi sudah merajai, perkembangan device juga masif, aplikasi menjamur.

Tahun 2000 – 2020 network masih ada harganya hanya terpuruk karena fungsi layanan dasarnya diambil aplikasi. Akibat persaingan bisnis dan pola yang berubah cepat, akhirnya lupa dengan model bisnis yang semestinya terintegrasi. Kompetitor merasa terbangun dengan infrastruktur yang terbuka. Masing-masing ingin membangun jaringan sendiri. Tanpa menerapkan regulasi yang ada.

Kondisi seperti ini, menjadi ancaman tersendiri bagi Industri Telekomunikasi di Indonesia. Bahkan dunia. Dan menjadi kekhawatiran global. Rusia contohnya, memilih memisahkan diri dari Internet Global.

Heru Sutadi

Solusi Menghadapi Revolusi Teknologi Digital

Bapak Heru Sutadi menekankan jika Industri Telekomunikasi Indonesia ingin survive, sebaiknya adaptasi dan berusaha mengimbangi revolusi teknologi. Dengan merapikan organisasi dan menyesuaikan perkembangan dengan pola bisnis yang dilakukan pesaing.

Dijelaskan pula bahwa disrupsi teknologi berpengaruh pada banyak hal, di antaranya bisnis, kompetisi, adopsi, inovasiteknologi dan organisasi perusahaan. Intinya, pada saat ini diperlukan perusahaan yang mempunyai pemimpin visioner. Dapat mengadopsi model bisnis apapun di masa depan walau sudah punya visi misi sendiri.

Bapak Heru juga mengatakan bahwa sebuah perusahaan telekomunikasi, apabila ingin mengejar ketinggalan dan menyesuaikan karakter pesaing yang lebih maju, ada baiknya lakukan efisiensi perusahaan yang rasio antara sumber daya manusia dan programnya sebanding.

Nonot Harsono (Foto : Imawan Anshari)

Penguatan Regulasi

Baru – baru ini, ada sebuah platform yang masuk ke Indonesia menyediakan layanan nonton gratis dan sambutan masyarakat sangat antusias. Lalu pemerintah mencabut izinnya, seperti biasa masyarakat langsung mentah-mentah marah dan viral-kan aksi pemerintah tersebut.

Salahnya lagi, pemerintah lambat mengedukasi masyarakat bahwa ada beberapa platform yang memang belum membayar pajak namun bebas beroperasi berjualan di Indonesia. Regulasi pun belum kuat diberlakukan. Tentu saja ini PR besar jika tak mau kecolongan diserobot akhirnya tenggelam.

Bapak Nonot menerangkan bahwa harus ada Konsolidasi network agar lebih efisien. Menyepakati dengan pemain global bagaimana? Dengan konsekuensi harus menyepakati kesepakatan.

“Contoh masalah saat satu apartemen dimasuki enam jaringan operator jika meyesuaikan  dengan pola bisnis PP52, pembagian wilayah layanan harus ditegakkan. Izin pasang kabel terlalu terbuka, bahkan ada instruksi sehari selesai. Harus ada aturan siapa yang bangun dan wilayah mana? Fiber optic cukup satu dan open access. Yang sudah ada dibetulkan yang bolong ditambal. Ini seharusnya.” Tegas Pak Nonot.

Upaya surat edaran menteri tentang (Over The Top) OTT, juga sudah dilakukan sebagai upaya penguatan regulasi. Tantangannya adalah pola bisnis yang cepat berubah.

Kabel laut Microsoft dan kabel laut Indonesia sudah tersedia melintang antara Jakarta dan Manado. Setiap jaringan operator tersambung di Singapura dan Hongkong, jaringan Jakarta - Perth juga sudah dibangun, menyusul Jakarta - San Fransisco.. Ini salah satu solusi membangun kemitraan yang fair, tidak saling bunuh.

Cloud service integrasi vertical mulai device hingga platform harus satu setting. Misalnya Cloud pertanian, kelautan, kehutanan dan data lainnya berada dalam satu setting. Jika network dimiliki orang lain maka tidak akan berfungsi.

Network operator harus dikembalikan kepercayaan dirinya, banyak yang menginjak - injak network nya sendiri dengan banting harga. Padahal industri tradisional jaringan telekomunikasi merupakan connecting yang sangat penting. Transformasi Digital disebut-sebut sebagai jargon pemerintah namun tidak pernah dibahas soal network operator-nya di Narasi RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional).

Bersama Pembicara, Teman Blogger dan Media (Foto : Inke Maris)

Edukasi Masyarakat

Dalam bahasan ini, saya sungguh gregetan karena mengapa regulasi dan penataan organisasi terkait industri telekomunikasi di Indonesia ini sangat lambat? Di mana yang salahnya? Sehingga banyak kecolongan juga dengan penguasaan industri oleh pihak luar. Tantangannya apa? Walaupun sudah dijelaskan Bapak Nonot dan Bapak Heru di atas, namun saya masih ingin menyimpulkan.

Untuk menuju transformasi telekomunikasi digital di tengah perubahan yang cepat ini, di samping penyesuaian diri dengan era sekarang, diperlukan juga partnership yang fair caranya adalah dengan penguatan regulasi didukung dengan kecerdasan dan kepekaan masyarakat saat mengonsumsi produk-produk digital yang berdatangan dari luar.

Masyarakat harus diedukasi bagaimana cara mem-verifikasi produk jasa yang dikonsumsinya sehingga benar-benar mengonsumsi sesuatu yang legal, mengikuti regulasi yang berlaku dan membayar pajak sesuai ketentuan. Jangan biarkan industri teknologi kita terjajah dan masyarakat terbuai dengan ninabobo mereka. Ini yang dimaksud kedaulatan teknologi.

No comments