Saat lihat instagram story Mona Ratuliu seminggu sebelum acara, saya melihat flyer webminar dengan tema “Menjadi orang tua zaman now untuk si anak remaja” yang relevan banget dengan apa yang saya butuhkan saat ini. Yaitu, memahami pola perilaku anak remaja yang emosinya sedang berkembang, banyak hal yang perlu perhatian walau sudah besar. Tak berpikir panjang lagi, saya langsung mendaftar dan alhamdulillah mendapatkan seat tadi siang.
Walau acaranya dilaksanakan
secara virtual namun tetap seru karena pembawaan host dan narasumber acara ini
seru banget, ceria khas mama-mama kece seperti instagramnya @momsweetmoms yang
digawangi Novita Angie, Mona Ratuliu, Ersa Mayori, Riafinola dan Meisya
Siregar. Kebetulan usia para moms kece ini usianya beda tipis sama saya, jadi
semua yang dibagikan pas banget apalagi anak-anak remaja mereka usianya juga
hampir sama dengan Sekar. Happy deh saya ikut acara ini! Mengingat para moms
kece ini juga menghiasi masa remaja saya di majalah yang sering say abaca waktu
itu.
Oh ya, obrolan tema remaja ini juga diperkuat oleh narasumber ahli yaitu Elisabeth Santoso, M.Psi, Psikolog dan Putri Silalahi, Manajer Komunikasi Instagram Asia Pasifik. Materinya padat berisi kan?
Obrolan seru diawali Novita Angie, saat putri remajanya
meminta konsultasi ke psikolog karena merasa tidak nyaman dengan apa yang
dilihatnya di sosial media. Putrinya Angie ini ternyata mengeluhkan sesuatu
yang bukan merupakan masalah pada dirinya namun sesuatu yang terjadi pada orang
lain. Ketika ada orang lain tersakiti, dia merasa ikut tidak nyaman sampai
kepikiran terus.
Angie dan suami akhirnya berusaha
mendengarkan apa yang diungkapkan putrinya sambil menenangkannya dan selalu aware dengan aktivitasnya. Mendampingi
tanpa mengontrol berlebihan tentunya.
Menurut psikolog Elisabeth
Santoso, remaja zaman sekarang sudah kritis dan mampu memilah mana yang baik
dan benar. Orang tua perlu mengarahkan lebih fokus saja. Dan Elisabeth
menanggapi sikap putrinya Angie yang ingin konsultasi ke psikolog, ini
menunjukkan bahwa remaja sekarang sudah memahami kesehatan mental. Elisabeth
menjelaskan bahwa saat anak beraktivitas di sosial media, sebaiknya dia tahu
baik buruk apa saja yang dibagikannya.
Jika sudah mengetahui hal dasar
seperti ini, anak biasanya tidak akan merasa tertekan saat menghadapi masalah
karena sudah tahu apa yang harus dilakukannya. Seperti, menghindari ujaran kebencian,
menghindari serangan atau melakukan pembelaan.
“Walau remaja sudah cukup kritis
dan dewasa, tetap pendampingan orang tua penting” Lanjut Elisabeth.
Dilanjut sharing Riafinola atau
lebih dikenal dengan Nola B3, yang membagikan pengalaman ketika putrinya yang
juga penyanyi mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari netizen di media
sosial. Dalam hal ini, Nola menyikapi dengan menelaah ke dirinya sendiri dulu.
Menurutnya, emosi anak remaja seusia putrinya bahkan orang yang mem-bully tersebut juga emosinya sedang
sama-sama berkembang. Jadi sikap yang diambil oleh Nola adalah memberikan
pengertian kepada anak-anaknya apalagi yang sudah remaja yaitu Naura. Untuk
bersikap fokus pada apa yang lebih penting saja. Misalnya pada pekerjaannya.
Menurut Nola, instagram adalah
sarana untuk mendukung pekerjaan anak-anaknya di dunia entertainment jadi,
memang harus selalu berhubungan dengan sosial media satu ini, terlepas dari
banyaknya potensi bullying.
Nola pun lebih
mengoptimalisasikan fitur-fitur keamanan yang ada pada instagram. Misalnya
dengan memfilter komentar-komentar buruk, mengatur privacy dan mengontrol
followers instagram anak agar dapat terminimalisir potensi-potensi yang akan
berdampak buruk pada psikis anak-anaknya. Juga Nola sendiri sebagai orang tua.
Panduan Instagram Untuk Orang Tua
Bicara soal fitur instagram,
Putri Silalahi menjelaskan bahwa instagram telah berkomitmen untuk memfasilitasi
anak muda untuk berekspresi. Dalam implementasinya, instagram mendukung
pengaturan keamanan di dalamnya agar lebih nyaman digunakan. Fitur-fitur untuk
kemanan dan kenyamanan pengguna ini dalam instagram ada pengelola privasi,
interaksi, waktu, dan keamanan. Semua cara penggunaannya dijelaskan secara
rinci dalam e-book Panduan Instagram Untuk Orang Tua yang
dapat diunduh di link instagram @momssweetmoms.
Jadi, buku panduan ini merupakan
bagian dari kampanye #Realtalk dari instagram yang bekerja sama dengan beberapa
komunitas parenting dan kesehatan mental. Salah satunya dengan momsweetmoms
ini.
Dengan adanya buku panduan ini,
diharapkan para orang tua dapat mempelajari fitur-fitur yang ada di instagram
sehingga menyambung jika ada obrolan dengan anak terkait postingan yang dibuat
atau orang tua jadi lebih jeli dalam menjaga keamanan anak saat bersosial
media.
Pentingnya Inner Circle Pertemanan
Ersa menggarisbawahi soal relationship yang ada pada sosial media.
Ersa sudah mempunyai dua anak remaja dan anak-anaknya mempunyai akun sosial
media lebih dari satu. Yang satu biasanya dipakai untuk teman-teman dekatnya
dan yang satunya lagi untuk umum. Jadi, kenyamanan saat membagikan sesuatu pun
terarah dan dapat dipilah.
Ersa juga menyebutkan bahwa
mempunyai inner circle pertemanan
dalam satu frekuensi sangat penting. Di mana hal ini bermanfaat sebagai pelampiasan
cerita jika anak-anak dalam satu circle
tersebut saling bercerita atau curhat tentang masalahnya kepada siapa yang
dianggapnya nyaman. Jadi, pada saat ingin bercerita pada orang tua teman dekat
atau pada anak orang tuanya yang dekat juga, bisa lebih nyaman. Sehingga
permasalahannya tidak sampai ke luar ranah privasi.
Meisya Siregar memberi gambaran
tujuan bersosial media yang terarah. Menurutnya, saat anak memutuskan untuk
bermain sosial media, mereka harus diberi pengertian dulu dan ditanya tujuannya
untuk apa? Apakah untuk berkomunikasi dengan teman-teman, mendapatkan
endorsement atau hal lainnya. Karena tujuan ini penting agar anak mempunyai
tanggung jawab atas sosial media yang dikelolanya,
Pernyataan Meisya diamini oleh
Nola, menurut Nola, contohnya anak-anak remaja dari pengelola @momsweetmoms ini
rata-rata sudah mendapatkan endorsement
di akun instagramnya sehingga dari sini, mereka dapat teredukasi juga untuk
masalah tanggung jawab terhapat kepercayaan brand
juga tanggung jawab terhadap followers-nya
sehingga mereka menjadi role model dan inspirasi yang baik.
Mona Ratuliu menambahkan, saat
Mima putri sulungnya yang mengalami ketidaknyamanan saat bersosial media dan relationship bersama teman-temannya,
kadang Mima merasakan kepanikan yang tiba-tiba datang atau perasaan gelisah
yang tidak jelas sebabnya. Awalnya Mona menganggap Mima berlebihan. Namun seiring
informasi yang dicarinya dari berbagai sumber terutama bertanya ke ahli
parenting, ternyata apa yang dialami Mima banyak juga dialami oleh remaja
umumnya.
Dari sana, Mona mulai fokus pada
keadaan Mima dan sering berkomunikasi tentang bagaimana perasaannya, apa yang
dialaminya dan seberapa berat beban aktivitasnya yang perlu dibantu. Mona
menggarisbawahi bahwa setiap keluarga yang terlihat baik-baik saja, belum tentu
anaknya merasa baik-baik saja karena ada kehidupan luar juga yang memengaruhi
kehidupannya. Oleh karena itu, perlu ditanya keadaannya walau anak terlihat
baik-baik saja. Jadi, orang tua jangan kepedean bahwa keluarganya sudah merasa
cukup harmonis lalu mengabaikan untuk bertanya kondisi anak dengan
berkomunikasi dari hati.
Pentingnya Memahami Kesehatan Mental di Era Digital
Selanjutnya, Psikolog Elisabeth
Santoso menyarankan setiap orang tua untuk selalu mendampingi anak dalam segala
aspeknya agar mudah diketahui apa kebutuhannya. Ada anak yang cenderung diam
saat merasakan suatu ketidaknyamanan, ini yang menjadi tantangan berat bagi
orang tua.
Jika ada anak yang sudah cukup
terbuka, sebaiknya dengarkan semua yang diceritakan. Beri kesempatan untuk
tidak dipotong atau dipatahkan curhatnya dengan toxic positivity seperti ungkapan “udah jangan nangis” atau “kakak
gak perlu marah” atau “jangan dipikirkan” tetapi biarkan anak mengungkapkan
rasa ketidaknyamanannya dengan leluasa. Setelah itu baru ngobrol bareng dan
mencari solusi bersama. Hindari juga sikap menghakimi anak jika anak bersalah.
Hubungannya dengan era digital,
Elisabeth menyatakan bahwa tidak dapat dipungkiri bahwa anak membutuhkan
pengakuan, eksistensi, ingin ada yang memahami dirinya dan ingin ada dukungan.
Maka, fasilitas sosial media akan digunakannya sebagai media menyalurkan
aktualisasinya tersebut. Maka dari itu, orang tua harus aware juga dengan aktivitas anak di sosial media.
Seru sekali bahasan ini, saya sampai berat hati untuk leave meeting zoom tadi saking asyik dan serunya. Saya mendapatkan banyak ilmu dari acara ini. Terima kasih untuk Momsweetmoms, ditunggu acara berikutnya!
Aku baru baca tentang toxic positivity, Teh. Kalau dipikir-pikir, ungkapan ini pas juga ya. Karena kadang kita memaksa anak untuk menutupi perasaan marah, sedih, takut, atau kecewanya. Padah semua perasaan itu kan normal.
ReplyDeleteAku pernah baca tentang anak yang hidup di lingkungan toxic positivity (tapi lupa judul bukunya). Anak itu saat dewasa jadi tangguh dan kuat. Tapi, dingin dan seolah nggak peduli dg sekitarnya.
Anyway, thanks sharingnya Teh ��