Saya pernah kebagian tugas menunggu saudara yang sakit kanker paru di Rumah Sakit Paru Bukit Jarian Bandung. Setiap jam, terdengar jeritan keluarga lain yang menunggu pasien yang meninggal karena tak tertolong karena penyakit ini. Suasana cukup membuat saya ciut, ditambah di luar kaca kamar rawat inap terdapat pohon beringin menjulang dan di lorong rumah sakit banyak keluarga dengan muka cemas dan ketidakpastian. Begitu pula saudara saya, tak tertolong. Berpulang dengan mengenaskan, wajah, jari tangan dan kaki menghitam dan lubang bekas bor untuk mengeluarkan cairan dari paru-paru menganga. Walau kecil, bikin ngilu dan remuk hati yang melihatnya.
Kanker paru yang biasanya
terdeteksi setelah stadium lanjut, memang harus diwaspadai, contohnya saudara
saya yang meninggal ini. Datang ke rumah sakit setelah merasakan parahnya batuk
dan sesak. Karena sebelumnya merasa sehat dan baik-baik saja. Kami keluarga
besar melihatnya pun sebelum masuk rumah sakit terlihat sehat dan ceria. Tak
menyangka kala Almarhumah mengidap kanker paru.
Jawaban dari pertanyaan saya terhadap penyakit Alm saudara saya ini ada pada webinar bersama Perhimpunan Onkologi Indonesia (POI), Indonesian Association for the Study on Thoracic Oncology (IASTO), ROCHE Indonesia dan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia yang membahas soal kanker paru. Ini tak saya lewatkan pada 10 Februari 2022 yang mana pembahasan disampaikan narasumber ahli yang dapat menuai insight. Acara ini bertajuk “Membuka Lebar Pintu Harapan: Meningkatkan Kesintasan Pasien Kanker Paru melalui Deteksi Dini, Diagnosis dan Tata Laksana yang Berkualitas”
Indonesia sendiri mempunyai angka
kejadian tertinggi terhadap kanker paru sebanyak 34.783 dan selama 2020, kasus
kematian akibat kanker paru terdapat 30.843. Menurut Japanese Journal of
Clinical Oncology (2014) disebutkan kanker paru membuat kualitas hidup pasien
rendah dan kebertahanan hidupnya kurang. Maka dari itu, webinar ini memberikan
solusi, jadi yuk kita simak paparan semua narasumbernya!
Selain menarik tentu saja ini
informasi penting yang dapat saya bagikan kepada keluarga besar dan
teman-teman. Sebagai contoh nyata, adalah saudara saya yang meninggal dan tak
terdeteksi gejalanya di awal.
Deteksi Gejala Kanker
Paru Melalui Skrining
Prof. dr. Elisna Syahruddin, Ph.D., Sp.P(K)Onk, Executive Director
Research of Indonesian Associate for The Study on Thoracic Oncology (IASTO) menjelaskan
faktor risiko kanker paru karena kebiasaan merokok atau ada riwayat keluarga
yang pernah mengidap kanker paru.
Kelompok risiko tinggi pada usia
45 tahun yang merupakan perokok aktif dan pasif. Demikian pula pada kelompok
usia 4o tahun dengan riwayat keluarganya yang pernah terpapar kanker paru.
Prof Elisna menyarankan deteksi
dini terhadap kanker paru bisa dilakukan melalui skrining. Metode menemukan
penyakit sebelum menjadi kanker. Contohnya skrining pada kanker leher Rahim.
Paru merupakan organ dalam maka harus diteropong. Metode yang dianjurkan adalah
Low-Dose CT Scan (LDCT) untuk mendapatkan layanan ini, bisa dilakukan di dalam
negeri dan menurut Ratu Martiningsih,
Analis Kebijakan Ahli Muda, sistem skrining sedang dalam proses pengesahan
untuk ditanggung oleh BPJS Kesehatan.
Low-Dose CT Scan (LDCT) Sumber foto: https://www.clinicalcorrelations.org/ |
Pendapat Prof. Elisna diperkuat Dr. Evlina Suzanna, Sp.PA, Sekjen
Perhimpunan Onkologi Indonesia (POI), menurutnya berdasarkan statistik angka
kanker paru di Indonesia mengatakan beban pasien pengidap kanker paru yang
cukup rapat.
Masyarakat sulit menerima karena
kurangnya edukasi soal kanker secara mendalam, harus diinformasikan bahwa
kanker pada umumnya berdefinisi sebagai penyakit genetik kompleks, jauh di dalam gen ada poin-poin penyebab terjadinya
mutasi sel yang akhirnya menjadi kanker. Maka dari itu penting dilakukan skrining saat
tidak bergejala, hitung faktor risiko ketika tidak sedang bergejala dengan cara
melakukan perubahan gaya hidup untuk mencegah kanker.
Stigma buruk tentang kanker
biasanya memperburuk pasien kanker dalam kehidupan bermasyarakat. Karena
mentalnya yang terus jatuh saat mendapati kenyataan-kenyataan yang dihadapinya.
Padahal kanker paru dapat ditangani jika ditangani sejak stadium awal dan
kebertahanannya dapat meningkat dengan serangkaian perawatan yang disiplin
sejak terdeteksi.
Dr. Evlina menyayangkan kurikulum
kedokteran umum saat ini belum mengangkat kanker menjadi bahasan yang
prioritas, padahal penyakit ini sangat merajalela dan sulit dikendalikan pada
masyarakat awam.
Lalu DR. dr. Andhika Rachman, Sp.PD-KHOM, dokter spesialis penyakit dalam mengungkapkan
jika saat ini terutama di masa pandemic pengidap kanker paru semakin sedikit
yang mau berobat ke rumah sakit, tentu memperparah keadaan sedangkan deteksi
dini sangat diperlukan segera.
Diperlukan kolaborasi praktisi,
peneliti dan stakeholder harus bersama-sama memberikan edukasi yang tidak
menuduh namun mengena pada kesadaran masyarakat sendiri agar pesannya sampai
dan dapat mengubah perilaku terhadap kepedulian pada kesehatannya tanpa malas
bergerak untuk ke rumah sakit.
Pernyataan tersebut diamini juga
oleh Dr. Ait-Allah Mejri, Presiden
Direktur PT.Roche Indonesia, bahwa menangani penyakit kanker paru diperlukan
komitmen setiap unsur pihak-pihak yang berkepentingan untuk bersama-sama
merumuskan solusi dalam memberikan pemahaman pentingnya memeriksakan secara
rutin saat mendapati diri berada dalam kelompok faktor risiko kanker paru.
Fasilitas Pengobatan Kanker Paru
Masih banyak yang mengandalkan
berobat ke luar negeri sambil wisata berobat, padahal di dalam negeri pun sudah
banyak sistem pengobatan yang andal dan modern dengan melibatkan tenaga medis
kompeten. Bahkan fasilitas rumah sakit juga semakin banyak pembenahan. Seperti
informasi dari Dr. Else Mutiara
Sihotang, Sp.PK, Koordinator Rumah Sakit Pendidikan Kemenkes RI.
Dr. Else menginformasikan bahwa
pemerintah menggalakkan Program 9 penyakit prioritas seperti jantung, kanker,
stroke, penyakit ibu dan anak, Infeksi, TB, diabetes melitus, ginjal dan hepatitis.
Berarti untuk kanker paru termasuk di dalamnya. Kanker Payudara, Kanker
Serviks, Kanker Paru, Kanker Nasofaring termasuk kanker yang menjadi prioritas.
Pada 2021 dalam upaya
penanggulangan penyakit kanker. Rumah Sakit Dharmais menjadi pengampu beberapa
rumah sakit pemerintah lainnya agar mendapatkan pedoman jelas dalam mempermudah
aksesibilitas masyarakat yang berobat. Standar setiap rumah sakit pun terpenuhi
dengan baik.
Ibu Megawati Tanto, survivor
kanker paru dan kollon yang hadir pada webinar ini berbagi pengalaman saat
terdeteksi kanker paru pada stadium 3B, Ia menyarankan dalam menangani kanker
paru sebaiknya secepatnya lakukan tindakan jangan sampai menunggu.Ibu Megawati
melakukan pengobatan dengan disiplin serta mengikuti semua anjuran tenaga medis
dengan baik hingga sembuh. Ibu Megawati menjalankan rangkaian pengobatan
melalui kemoterapi dan imunoterapi dengan total waktu pengobatan 2,5 tahun.
Sekarang sudah sembuh dan dapat menjalani kehidupannya dengan baik bersama
keluarganya.
Penelitian melihat karakter
risiko dari insiden kanker paru terus meningkat setiap tahunnya. Faktor risiko harus dikendalikan dengan
berbagai cara yang tepat. Prof. Elisna menyarankan treatment kanker paru tak cukup hanya kemoterapi karena akan
memberikan hasil yang kurang akurat. Sebaiknya dikombinasikan dengan
radioterapi jika ingin mendapatkan lebih baik hasilnya.
Kesimpulannya, dari semua yang
diungkapkan para narasumber di atas, kanker paru jangan dianggap enteng karena
efeknya sangat berpengaruh pada mental pasien juga keluarganya serta kehidupan
ekonomi dan sosialnya. Agar memahami cara pengobatan yang tepat, sebaiknya
rajin mencari informasi dari berbagai sumber terverifikasi, konsultasi dengan
tenaga medis atau bergabung dengan komunitas-komunitas yang fokus pada
pembahasan kanker. Juga mengikuti acara-acara edukasi seperti webinar ini.
No comments