Foto : pixabay |
Sebelum pandemi, saya mengikuti reuni sekolah SMP, ketua panitia meminta saya untuk memberikan kata motivasi dalam rangkaian acaranya. Saya tak langsung mengiyakan, dengan penuh penasaran saya bertanya mengapa saya? Kan masih banyak yang lebih tinggi pencapaian karir atau hidupnya yang sukses?
Lalu panitia reuni yang akrab
dipanggil Bunda yang masih teman saya namun tak sekelas ini meyakinkan saya
bahwa teman-teman yang lain pun akan setuju mengingat apa yang mereka lihat
dari progress kehidupan saya di sosial media menurut si Bunda ini, mengundang
banyak pertanyaan bagaimana saya bisa merangkak maju dalam menjalani kehidupan.
Padahal saya berjuang sendirian. Dari penjelasan si Bunda, saya menyetujui.
Saya pun lega karena yang berbagi saat itu, tidak hanya saya, ada dua teman
lain yang sukses di bidang masing-masing. Jadi, sudut pandang inspirasi yang
diterima teman-teman SMP saat reuni menjadi beragam.
Hadir di Hari H, saya masih
merasa ragu dan hati ciut saat melihat teman-teman lain datang bersama suami
dan anak-anaknya. Saya datang sendiri karena biar bisa pulang pergi, kasihan
Sekar kalau diajak PP nantinya bisa kelelahan. Lalu, saya lihat mereka
memperlihatkan foto rumah mewah yang tak hanya satu, mobil dan sederet
pencapaian yang bikin saya silau! Tapi saya ingat perkataan si Bunda, saya
berusaha menenangkan diri dan minum air hangat terus lalu ke toilet terus. Saya
bertanya terus, apakah pantas single parent berbagi di sini? Huhuhu bikin hati
nelangsa dan sempat menyesal datang ke acara ini.
Setelah makan-makan, hiburan,
door prize, tibalah saatnya berbagi inspirasi itu, astaga! Saya kira sudah
dicoret dari rundown tadi sempat lupa
saat seseruan bareng teman. Saya berdiri di depan teman-teman, mengedarkan
pandangan sesaat lalu saya memulai tersenyum. Alhamdulillah senyuman membuat
saya lebih rileks. Lalu, saya perkenalkan kembali diri saya, barangkali ada
yang belum kenal dari kelas lain karena ini reuni angkatan. Memulai cerita dari
setelah lulus kuliah, kerja hingga menjadi full
time blogger dan bekerja freelance. Berbagi
kiat menyiasati waktu yang terbatas untuk padat aktivitas yang produkif serta
kita menghadapi hambatan.
Lalu pertanyaan-pertanyaan berhasil
saya jawab dan pertanyan-pertanyaan tersebut semakin memperkaya jiwa saya.
Seolah saya membedah kembali sisi-sisi unggul dalam diri saya. Rasa grogi,
takut dan minder itu sirna seketika. Berubah menjadi semangat yang berapi-api
memberikan semangat. Tepuk tangan pun beruntun.
Saya menyampaikan secara jujur
apa yang saya lakukan, mulai dari kegiatan sehari-hari, perjuangan hingga
pekerjaan sebagai freelancer. Saya
sampaikan apa adanya. Sampai di satu titik, ada yang bertanya soal suami. Dari
sini mereka baru tahu kalau saya single
parent. Teman-teman saya semakin bergemuruh memberikan tepuk tangan tanda
memberikan semangat dan tak sedikit yang mengucapkan terima kasih atas apa yang
saya bagikan. Mereka merasa mendapatkan banyak energi kembali.
Keriaan acara usai di pukul
21.30, saya bergegas pulang agar tak terlalu larut sampai rumah. Di sepanjang
perjalanan, saya menangis haru dan bahagia atas apresiasi yang diberikan
teman-teman juga ungkapan tulus yang merasa terbantu atas motivasi yang saya
berikan.
Saya lekas bebenah hati, menegur
sikap yang tadinya pesimis dan tidak yakin dengan apa yang menjadi my strength ternyata, dari sekian teman
yang saya merasa iri sebelumnya, ketika mereka curhat, banyak yang belum
benar-benar menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya. Padahal tadinya saya
melihat mereka ini sempurna dan tidak kurang suatu apapun. Ternyata saya salah.
Tapi saya tetap empaty dengan berbagai masalah yang mereka hadapi. Yang saya
jadikan pelajaran dari sini adalah betapa pentingnya melihat sesuatu dari luar
jendela, pentingnya “main jauh” dan memahami apa yang terjadi di luar. Jangan
merasa weakness yang ada dalam diri
kita mengungkung untuk terbuka dengan orang lain dan dunia luar.
dari hasil saya sharing dari reuni ini mengundang kerja
sama dari teman-teman saya yang sukses dan mempunyai perusahaan sendiri. Salah
satunya Dandi Birdy teman sekelas yang punya HR Consulting sendiri beserta istrinya Teh Diah yang Psikolog. Kami
sering berkolaborasi membuat acara. Lalu Hani yang berbeda kelas pernah meminta
saya untuk terlibat dalam proyek pembuatan artikel dan masih ada beberapa lagi.
Ternyata pandangan yang saya ciptakan terhadap diri saya sendiri sungguh salah.
Buktinya, saya bersikap apa adanya, teman-teman tetap respect dan tidak memandang status. Alhamdulillah Teman-teman saya
sangat baik dan saya mendoakan mereka sehat dilimpahi keberkahan.
Dari cerita ini, saya menjadi
terbuka mata dan hati. Bahwa jika kita ingin dihargai orang lain, hargailah
diri sendiri dulu dan yakin dengan sesuatu yang dimiliki adalah sebuah berkah.
Fokus pada kelebihan yang dimiliki bukan hanya fokus pada kekurangan yang
dibandingkan dengan kelebihan orang lain. Karena kita harus ingat bahwa kita
pun memiliki peran penting dalam kapasitas yang telah ditetapkan Nya.
Jika semua orang berperan sama,
kan tidak aka nada yang saling melengkapi dan kehidupan juga menjadi monoton
dan tak aka nada yang saling belajar.
Setiap orang punya cara
berbahagia sendiri dan setiap orang punya standar kebahagiaan yang tak dapat
disamakan dengan orang lain apa lagi jika harus memakai rumus. Akan menyiksa
batin kalau harus sesuai rumus yang menjadi acuan standar, padahal setiap orang
punya latar belakang berbeda, punya kondisi berbeda dan punya prinsip berbeda.
Yang sama hanya satu, semua akan kembali pada Nya dan semua sama harkat
martabatnya di hadapan Allah SWT.
Bener banget, setiap orang memiliki standar kebahagiaan sendiri gak cuma tentang banyaknya harta dll. Kadang juga heran bahagianya seseorang itu sederhana, ada yang bahagia karena bisa makan. Jadi bahagiakan diri sendiri tanpa perlu iri kepada kebahagiaan orang lain.
ReplyDelete